Pojok Biografi "Ibnu Arabi"
💦Biografi Ibnu Arabi
Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi. Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai. Kuniahnya adalah Abu Bakar dan laqab (julukannya) adalah Muhyiddin. Ia juga populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan sebutan Ibnu Arabi (tanpa “al”) untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Ibnu Arabi lahir pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di Murcia, Andalusia. Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk salah seorang ahli fiqh dan hadits, juga seorang sufi yang zuhud dan bertaqwa[1][9]. Ayahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Qur’an dan memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari meninggalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makiyah.[2][10]
Pada umur delapan tahun, Ibn Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, untuk menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yaitu membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari Syekh Abu Bakar bin Khalaf, kemudian ia pindah ke Seville yang saat itu merupakan pusat sufi Spanyol dan menetap di sana selama tiga puluh tahun untuk mempelajari hukum, hadits, teologi Islam, serta banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari tasawuf. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari, dan melanglang buana ke berbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir, dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.[3][11]
💦KONSEP WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wihdatul wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang berjasa dalam mempopulerkan ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq) dan aspek dalam disebut Tuhan (al-Haqq). Menurut faham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut.[4][13]
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya.[5][14] Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi,
سُبْحَانَ مَنْ أَظْهَرَ الْأَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُنَا
“Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu.[6][15]
Wujud alam, menurut Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud Allah juga. Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan wujud baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat syairnya[7][16]:
اَلْعَبْدُ رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ # يَا لَيْتَ شُعُوْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ # أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى يُكَلَّفُ
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba, demi perasaanku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?
Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti apa pun selain Tuhan baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki wujud. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan tetapi kenyataannya Ibnu Arabi juga menggunakan kata wujud untuk menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan sedang wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya Ibnu Arabi memberikan contoh berupa cahaya. Cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Ibnu Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti menampakkan diri. Tajalli artinya Allah menampakkan diri atau membuka diri, jadi diumpamakan Allah bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan dengan sendirinya. Dengan teori ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun. Artinya tetap dalam kemutlakannya.[8][17]
Sebagaimana doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhat Al-Makkiyyah dan Fushush Al-Hikam esensi ke-Tuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal dan tanpa atribut (sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan. Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi dalam keTuhanan-Nya, Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan adalah absolut, ciptaannya ada secara relatif, dan yang muncul sebagai relasi realitas adalah wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala sesuatu adalah atribut Tuhan dan dengan demikian semua pada akhirnya identik dengan Tuhan, tanpa memandang bahwa semua itu sebenarnya bukan apa apa.[9][18] Ibn Arabi memandang manusia dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa sang penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling suci karena seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya: kepada-Nya ia akan kembali dan dari-Nya ia berawal.[10][19]
Ketika Tuhan berkehendak dengan nama-nama bagus-Nya (sifat-sifat) yang berada di luar hitungan, esensinya bisa dilihat. Dia menyebabkan nama-nama itu bisa dilihat dalam sebuah wujud mikrokosmik yang karena dikaruniai eksistensi meliputi seluruh obyek penglihatan dan melaluinyalah kesadaran terdalam Tuhan menjadi termanifestasikan di hadapan-Nya.[11][20]
Lebih lanjut Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan). Menurutnya ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma’ dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma’-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya, yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.[12][21]
Banyak orang yang menyamakan antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Padahal terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Konsep Wihdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.[13][22]
Oleh para sufi segala wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan Wujud Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat Big Bang (terjadinya ledakan besar, yaitu yang dianggap awal mula terjadinya bumi oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar tahun yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin, karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.[14][23]
Harus dipahami bahwa paham Ibnu Arabi ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai bukan Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia adalah Allah dan Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas terjebak ke dalam Pantheisme. Menurut Ibnu Arabi, keterbatasan persepsi manusia telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain Allah dengan keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan prinsipil antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Pantheisme menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wihdatul wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme, wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah sesat.[15][24]
Doktrin wihdatul wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori wihdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Maka akan timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya?[16][25] Untuk menjawab persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas wujudiyah yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab, dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit, dimana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah terbatas. Wujud ini (maujud basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujud-Nya merupakan maujud-Nya itu sendiri.
Menurut Ibnu Arabi, tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq). Ibnu Arabi memandang pengalaman langsung sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat mencapai tahap tersebut, jiwa berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana’). Dan pada saat itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, yaitu kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang Abadi dengan yang binasa.[17][26]
Komentar
Posting Komentar