Pojok Artikel "Ngaji Fiqh - Hukum Tahlilan"

Ngaji FIQH:
📮 Soal-Jawab #18 📮

🌱 Soal Tahlilan
Bagaimana pandangan para imam madzhab tentang Tahlilan?Apa hukumnya ust?

☘ Jawab :
Tahlilan, merupakan istilah arab yang disadur ke bahasa indonesia. Asal kata nya adalah Tahliil, yang berarti kalimat laa ila ha illallaah.
Aktivitas/Ritual Tahlilan biasanya mengacu pada aktivitas sebagian masyarakat Indo saat salah seorang tetangga muslim mereka atau warga di tempat tinggal mereka wafat. Biasanya diadakan bacaan-bacaan doa serta ayat qur'an(atau pembacaan surat yasin), dalam waktu 7 hari berturut turut, kemudian diadakan kembali pada hari 40 hari, 100 hari, dan setahun.
Tahlilan, belum di lakukan pada zaman Nabi. Akan tetapi amalan ini merupakan ijtihad sebagian ulama, dan dikritik oleh sebagian ulama yang lain.
Dalil mereka yang memperbolehkan tahlilan ini ialah :

عن سعد بن عبادة قال قلت يا رسول الله إن أمي ماتت أفأتصدق عنها قال نعم قلت فأي الصدقة أفضل قال سقي الماء
Dari Sa'ad Ibn 'Ubadah, ia berkata : "Saya berkata kepada Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam, Sesungguhnya Ibu saya meninggal dunia, apakah saya dapat bersedekah atasnya?".Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam menjawab : Iya. Saya bertanya, "Apa sedekah yang paling afdhol?". Beliau shallallaahu 'alayhi wasallam menjawab : "Memberi air minum". (HR. An-Nasa'i)

Juga disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya, Al Hawi lil Fatawa sebuah riwayat mursal marfu' :
قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام.
"Thawus(tabi'in) berkata : "Sesungguhnya orang-orang yang sudah wafat di adzab di dalam qubur mereka selama tujuh hari, maka mereka(keluarga mayyit) dianjurkan untuk bersedekah makanan untuk mereka pada hari-hari tersebut".

قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث ابن أبي الحارث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن و منافق فأما المؤمن فيفتن سبعا.
"Telah berkata Ibn Juraij dalam al-Mushonnaf : Dari al Harits ibn Abi Al Harits, dari 'Ubayd ibn 'Umair ia berkata : Diadzablah dua orang, yakni mukmin dan munafiq. Adapun orang beriman diadzab selama tujuh hari". ( Al Hawi lil Fatawa, Juz 3/Hal. 266)

Adapun mereka yang melarang bersandarkan pada atsar :
عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ
"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : ” Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap”. (HR. Ibn Majah, Ahmad)

Niyahah sendiri berarti 'ratapan'. Dijelaskan dalam Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah(42/49) :
" النِّيَاحَةُ لُغَةً اسْمٌ مِنَ النَّوْحِ ، مَصْدَرُ نَاحَ يَنُوحُ نَوْحًا وَنُوَاحًا وَنِيَاحًا . وَهِيَ : الْبُكَاءُ بِصَوْتٍ عَالٍ.
"Niyahah, menurut bahasa adalah isim mashdar dari naaha - yanuuhu - nawh[an] - nuwaah[an] wa niyaah[an], yang berarti menangis dengan suara dan pekikan tinggi".

Niyahah dilarang dalam Islam, berdasarkan hadits Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam :
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang sulit untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan dengan ramalan bintang tertentu, serta (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal”. (HR. Muslim)

Setelah mencermati dua kubu dari pendapat yang pro dan kontra dengan tahlilan, kami memandang bahwa terkait tahlilan disikapi dengan sikap :
  1. Hendaknya tidak diyakini bahwa tahlilan ini wajib, atau sunnah dari Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam. Sehingga tidak mencibir mereka yang tidak melakukan amalan tahlilan dengan sebutan 'pelit', atau 'mati kayak kucing', dsb. Begitu juga sebaliknya, menyebut mereka yang melakukan tahlilan(dengan keridloan dan kemampuan keluarga mayit) dengan sebutan 'mubadzir', 'sok pamer', dsb. Tetap saling menghormati dan menjaga perasaan masing-masing.
  2. Jikalau ingin sedekah dengan bentuk amalan tahlilan, maka hendaknya diperhatikan betul darimana sumber pendanaannya. Jangan sampai bersusah payah hingga membuat pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat wajib terlalaikan. Termasuk tidak boleh sampai meminjam uang pada lembaga simpan pinjam riba, karena selayaknya yang memberi dan mengirim makanan adalah para tetangga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan keluarganya untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja’far, saat wafatnya salah seorang anggota keluarga mereka, اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ (“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka dihinggapi perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi))
  3.  Tidak meyakini dan menetapkan batasan doa dan pahala bacaan ayat suci AlQur'an hanya 7 hari saja. Tapi yang betul adalah meyakini bahwa doa berlaku tanpa pembatasan waktu, baik kurang dari 7 hari maupun lebih. Hendaknya pula orang-orang yang diundang tidak berkumpul sebatas mengobrol dan berharap makanan, namun tujuan mereka adalah mendoakan. Dalam hal ini madzhab Syafii memandang bahwa berkumpulnya orang-orang pada acara kematian(sebatas berkumpul) adalah perbuatan yang tidak disukai(makruh).(lihat, kitab Al Umm, Juz 1/Hal. 318). In sya Allaah akan dikupas lebih mendalam. Wallaahu a'lam. 
[ Pengasuh Tanya Jawab : Ust. Rivaldy Abdullah (+201019133695)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Alfiyah "Bab Waqaf"

Kajian Alfiyah Ibn Malik "Imalah"

Kajian Alfiyah "Cara Membentuk Isim Maqshur/Mamdud menjadi Tasniyah-Jamak"