Kajian Fiqh "Bersuci dari Najis"

 إلى حضرة النبي المصطفى محمّد صلى الله عليه وسلم وعلى اله وأصحابه أجمعين.
وإلى جميع مشايخنا وأساتذتنا وآبائنا والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات خصوصا الى روح :
Ibnu Rusyd, Simbah Agus, Orang tua, keluarga dan Anak turunku, Warih firdausi , semua yang aktif berbagi ilmu, Semoga selalu dalam Rahmat Alloh di dunia dan akhirat, ilaa yaumil qiyamah wa husnul khotimah,
الفاتحة:
ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ (1)
اﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ (2) اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ (3) ﻣﺎﻟﻚ ﻳﻮﻡ اﻟﺪﻳﻦ (4) ﺇﻳﺎﻙ ﻧﻌﺒﺪ ﻭﺇﻳﺎﻙ ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ (5)
اﻫﺪﻧﺎ اﻟﺼﺮاﻁ اﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ (6) ﺻﺮاﻁ اﻟﺬﻳﻦ ﺃﻧﻌﻤﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻏﻴﺮ اﻟﻤﻐﻀﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻻ اﻟﻀﺎﻟﻴﻦ (7)
Aamiin.
 [ ﻛﺘﺎﺏ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﻨﺠﺲ]
[ اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ ﻓﻲ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺣﻜﻢ ﻫﺬﻩ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ]
ﻭاﻟﻘﻮﻝ اﻟﻤﺤﻴﻂ ﺑﺄﺻﻮﻝ ﻫﺬﻩ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻭﻗﻮاﻋﺪﻫﺎ ﻳﻨﺤﺼﺮ ﻓﻲ ﺳﺘﺔ ﺃﺑﻮاﺏ:
اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ: ﻓﻲ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺣﻜﻢ ﻫﺬﻩ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ: ﺃﻋﻨﻲ ﻓﻲ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﺃﻭ ﻓﻲ اﻟﻨﺪﺏ ﺇﻣﺎ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﺇﻣﺎ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺃﻧﻬﺎ ﻣﺸﺘﺮﻃﺔ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ.
اﻟﺒﺎﺏ اﻟﺜﺎﻧﻲ: ﻓﻲ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺃﻧﻮاﻉ اﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ.
اﻟﺒﺎﺏ اﻟﺜﺎﻟﺚ: ﻓﻲ ﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﻤﺤﺎﻝ اﻟﺘﻲ ﻳﺠﺐ ﺇﺯاﻟﺘﻬﺎ ﻋﻨﻬﺎ.
اﻟﺒﺎﺏ اﻟﺮاﺑﻊ: ﻓﻲ ﻣﻌﺮﻓﺔ اﻟﺸﻲء اﻟﺬﻱ ﺑﻪ ﺗﺰاﻝ.
اﻟﺒﺎﺏ اﻟﺨﺎﻣﺲ: ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺇﺯاﻟﺘﻬﺎ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﻣﺤﻞ.
اﻟﺒﺎﺏ اﻟﺴﺎﺩﺱ: ﻓﻲ ﺁﺩاﺏ اﻹﺣﺪاﺙ.
اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ: ﻓﻲ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺣﻜﻢ ﻫﺬﻩ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻭاﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﺒﺎﺏ، ﺃﻣﺎ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺎﺏ، ﻓﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ﻭﺛﻴﺎﺑﻚ ﻓﻄﻬﺮ}
[ اﻟﻤﺪﺛﺮ: 4]
ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻦ اﻟﺴﻨﺔ، ﻓﺂﺛﺎﺭ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺛﺎﺑﺘﺔ، ﻣﻨﻬﺎ ﻗﻮﻟﻪ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ -: «ﻣﻦ ﺗﻮﺿﺄ ﻓﻠﻴﺴﺘﻨﺜﺮ» ، «ﻭﻣﻦ اﺳﺘﺠﻤﺮ ﻓﻠﻴﻮﺗﺮ» ﻭﻣﻨﻬﺎ «ﺃﻣﺮﻩ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺑﻐﺴﻞ ﺩﻡ اﻟﺤﻴﺾ ﻣﻦ اﻟﺜﻮﺏ» ، «ﻭﺃﻣﺮﻩ ﺑﺼﺐ ﺫﻧﻮﺏ ﻣﻦ ﻣﺎء ﻋﻠﻰ ﺑﻮﻝ اﻷﻋﺮاﺑﻲ» ﻭﻗﻮﻟﻪ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ -: ﻓﻲ ﺻﺎﺣﺒﻲ اﻟﻘﺒﺮ «ﺇﻧﻬﻤﺎ ﻟﻴﻌﺬﺑﺎﻥ ﻭﻣﺎ ﻳﻌﺬﺑﺎﻥ ﻓﻲ ﻛﺒﻴﺮ، ﺃﻣﺎ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻓﻜﺎﻥ ﻻ ﻳﺴﺘﻨﺰﻩ ﻣﻦ اﻟﺒﻮﻝ» .
ﻭاﺗﻔﻖ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻟﻤﻜﺎﻥ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﻤﻮﻋﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻣﺄﻣﻮﺭ ﺑﻬﺎ ﻓﻲ اﻟﺸﺮﻉ ﻭاﺧﺘﻠﻔﻮا: ﻫﻞ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﺃﻭ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺪﺏ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ، ﻭﻫﻮ اﻟﺬﻱ ﻳﻌﺒﺮ ﻋﻨﻪ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻗﻮﻡ: ﺇﻥ ﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ ﻭاﺟﺒﺔ، ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭاﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ﻭﻗﺎﻝ ﻗﻮﻡ: ﺇﺯاﻟﺘﻬﺎ ﺳﻨﺔ ﻣﺆﻛﺪﺓ ﻭﻟﻴﺴﺖ ﺑﻔﺮﺽ. ﻭﻗﺎﻝ ﻗﻮﻡ: ﻫﻲ ﻓﺮﺽ ﻣﻊ اﻟﺬﻛﺮ، ﺳﺎﻗﻄﺔ ﻣﻊ اﻟﻨﺴﻴﺎﻥ، ﻭﻛﻼ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ
.
 ﻭﺳﺒﺐ اﺧﺘﻼﻓﻬﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺭاﺟﻊ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﺷﻴﺎء: ﺃﺣﺪﻫﺎ: اﺧﺘﻼﻓﻬﻢ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ - ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ -: {ﻭﺛﻴﺎﺑﻚ ﻓﻄﻬﺮ}
[ اﻟﻤﺪﺛﺮ: 4]
ﻫﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺃﻭ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺠﺎﺯ؟ .
ﻭاﻟﺴﺒﺐ اﻟﺜﺎﻧﻲ: ﺗﻌﺎﺭﺽ ﻇﻮاﻫﺮ اﻵﺛﺎﺭ ﻓﻲ ﻭﺟﻮﺏ ﺫﻟﻚ.
ﻭاﻟﺴﺒﺐ اﻟﺜﺎﻟﺚ: اﺧﺘﻼﻓﻬﻢ ﻓﻲ اﻷﻣﺮ ﻭاﻟﻨﻬﻲ اﻟﻮاﺭﺩ ﻟﻌﻠﺔ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﻨﻰ، ﻫﻞ ﺗﻠﻚ اﻟﻌﻠﺔ اﻟﻤﻔﻬﻮﻣﺔ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ اﻷﻣﺮ ﺃﻭ اﻟﻨﻬﻲ، ﻗﺮﻳﻨﺔ ﺗﻨﻘﻞ اﻷﻣﺮ ﻣﻦ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﺇﻟﻰ اﻟﻨﺪﺏ، ﻭاﻟﻨﻬﻲ ﻣﻦ اﻟﺤﻈﺮ ﺇﻟﻰ اﻟﻜﺮاﻫﺔ؟ ﺃﻡ ﻟﻴﺴﺖ ﻗﺮﻳﻨﺔ؟ ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻓﺮﻕ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺑﻴﻦ اﻟﻌﺒﺎﺩﺓ اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ ﻭﻏﻴﺮ اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ؟
ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺻﺎﺭ ﻣﻦ ﺻﺎﺭ ﺇﻟﻰ اﻟﻔﺮﻕ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ; ﻷﻥ اﻷﺣﻜﺎﻡ اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﺸﺮﻉ ﺃﻛﺜﺮﻫﺎ ﻫﻲ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﻣﺤﺎﺳﻦ اﻷﺧﻼﻕ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ، ﻭﻫﺬﻩ ﻓﻲ اﻷﻛﺜﺮ ﻫﻲ ﻣﻨﺪﻭﺏ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻓﻤﻦ ﺣﻤﻞ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ {ﻭﺛﻴﺎﺑﻚ ﻓﻄﻬﺮ}
[ اﻟﻤﺪﺛﺮ: 4]
ﻋﻠﻰ اﻟﺜﻴﺎﺏ اﻟﻤﺤﺴﻮﺳﺔ ﻗﺎﻝ: اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻭاﺟﺒﺔ، ﻭﻣﻦ ﺣﻤﻠﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻨﺎﻳﺔ ﻋﻦ ﻃﻬﺎﺭﺓ اﻟﻘﻠﺐ ﻟﻢ ﻳﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﺣﺠﺔ.
ﻭﺃﻣﺎ اﻵﺛﺎﺭ اﻟﻤﺘﻌﺎﺭﺿﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ، ﻓﻤﻨﻬﺎ ﺣﺪﻳﺚ ﺻﺎﺣﺒﻲ اﻟﻘﺒﺮ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭ، ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻓﻴﻬﻤﺎ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -: «ﺇﻧﻬﻤﺎ ﻟﻴﻌﺬﺑﺎﻥ، ﻭﻣﺎ ﻳﻌﺬﺑﺎﻥ ﻓﻲ ﻛﺒﻴﺮ، ﺃﻣﺎ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻓﻜﺎﻥ ﻻ ﻳﺴﺘﻨﺰﻩ ﻣﻦ ﺑﻮﻟﻪ» ﻓﻈﺎﻫﺮ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﻘﺘﻀﻲ اﻟﻮﺟﻮﺏ ; ﻷﻥ اﻟﻌﺬاﺏ ﻻ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻮاﺟﺐ، ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻤﻌﺎﺭﺽ ﻟﺬﻟﻚ ﻓﻤﺎ ﺛﺒﺖ ﻋﻨﻪ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ - ﻣﻦ ﺃﻧﻪ ﺭﻣﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻫﻮ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ ﺳﻼ ﺟﺰﻭﺭ ﺑﺎﻟﺪﻡ ﻭاﻟﻔﺮﺙ ﻓﻠﻢ ﻳﻘﻄﻊ اﻟﺼﻼﺓ.
ﻭﻇﺎﻫﺮ ﻫﺬا ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻭاﺟﺒﺔ ﻛﻮﺟﻮﺏ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﺙ ﻟﻘﻄﻊ اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻣﻨﻬﺎ ﻣﺎ ﺭﻭﻱ «ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ - ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺻﻼﺓ ﻣﻦ اﻟﺼﻠﻮاﺕ ﻳﺼﻠﻲ ﻓﻲ ﻧﻌﻠﻴﻪ، ﻓﻄﺮﺡ ﻧﻌﻠﻴﻪ، ﻓﻄﺮﺡ اﻟﻨﺎﺱ ﻟﻄﺮﺣﻪ ﻧﻌﻠﻴﻪ، ﻓﺄﻧﻜﺮ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻴﻬﻢ - ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ - ﻭﻗﺎﻝ: " ﺇﻧﻤﺎ ﺧﻠﻌﺘﻬﺎ ; ﻷﻥ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﺃﺧﺒﺮﻧﻲ ﺃﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﺬﺭا» .
ﻓﻈﺎﻫﺮ ﻫﺬا ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻭاﺟﺒﺔ ﻟﻤﺎ ﺑﻨﻰ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻣﻀﻰ ﻣﻦ اﻟﺼﻼﺓ.
ﻓﻤﻦ ﺫﻫﺐ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻵﺛﺎﺭ ﻣﺬﻫﺐ ﺗﺮﺟﻴﺢ اﻟﻈﻮاﻫﺮ ﻗﺎﻝ ﺇﻣﺎ ﺑﺎﻟﻮﺟﻮﺏ ﺇﻥ ﺭﺟﺢ ﻇﺎﻫﺮ ﺣﺪﻳﺚ اﻟﻮﺟﻮﺏ، ﺃﻭ ﺑﺎﻟﻨﺪﺏ ﺇﻥ ﺭﺟﺢ ﻇﺎﻫﺮ ﺣﺪﻳﺚ اﻟﻨﺪﺏ، ﺃﻋﻨﻲ اﻟﺤﺪﻳﺜﻴﻦ اﻟﻠﺬﻳﻦ ﻳﻘﻀﻴﺎﻥ ﺃﻥ ﺇﺯاﻟﺘﻬﺎ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ اﻟﻨﺪﺏ اﻟﻤﺆﻛﺪ) . ﻭﻣﻦ ﺫﻫﺐ ﻣﺬﻫﺐ اﻟﺠﻤﻊ، ﻓﻤﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻫﻲ ﻓﺮﺽ ﻣﻊ اﻟﺬﻛﺮ ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ، ﺳﺎﻗﻄﺔ ﻣﻊ اﻟﻨﺴﻴﺎﻥ ﻭﻋﺪﻡ اﻟﻘﺪﺭﺓ.
ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﻫﻲ ﻓﺮﺽ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﻟﻴﺴﺖ ﻣﻦ ﺷﺮﻭﻁ ﺻﺤﺔ اﻟﺼﻼﺓ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ
ﺭاﺑﻊ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻭﻫﻮ ﺿﻌﻴﻒ ; ﻷﻥ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﺰاﻝ ﻓﻲ اﻟﺼﻼﺓ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﻦ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ اﻟﻌﺒﺎﺩﺓ اﻟﻤﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﻨﻰ ﻭﺑﻴﻦ اﻟﻐﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻟﺘﻪ ﺃﻋﻨﻲ ﺃﻧﻪ ﺟﻌﻞ اﻟﻐﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ ﺁﻛﺪ ﻓﻲ ﺑﺎﺏ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻭﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ اﻷﻣﺮ اﻟﻮاﺭﺩ ﻓﻲ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﺙ، ﻭﺑﻴﻦ اﻷﻣﺮ اﻟﻮاﺭﺩ ﻓﻲ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﻨﺠﺲ ; ﻷﻥ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﻨﺠﺲ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﺃﻥ اﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﺑﻬﺎ اﻟﻨﻈﺎﻓﺔ، ﻭﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻣﺤﺎﺳﻦ اﻷﺧﻼﻕ.
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻄﻬﺎﺭﺓ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﺙ ﻓﻐﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻟﺔ اﻟﻤﻌﻨﻰ ﻣﻊ ﻣﺎ اﻗﺘﺮﻥ ﺑﺬﻟﻚ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻬﻢ ﻓﻲ اﻟﻨﻌﺎﻝ ﻣﻊ ﺃﻧﻬﺎ ﻻ ﺗﻨﻔﻚ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻮﻃﺄ ﺑﻬﺎ اﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ ﻏﺎﻟﺒﺎ، ﻭﻣﺎ ﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﻌﻔﻮ ﻋﻦ اﻟﻴﺴﻴﺮ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ.
Halaman :83
Kitab tentang bersuci dari najis.
Semua seluk beluk bersuci dari najis ini secara umum teringkas diantara enam bab.
  1. Hukum bersuci baik dari sisi kedudukannya sebagai bentuk kewajiban, sunnah, mutlaq, atau syarat dalam untuk sahnya sholat.
  2. Untuk mengidentifikasi mana mana yang dianggap najis. 
  3. Mengetahui kondisi yang mewajibkan untuk sebisa mungkin hindarkan najis itu. 
  4. Perangkat yang layak sebagai penghilang najis. 
  5. Seputar sifat najis sudah cukup dianggap sirna. 
  6. Adab adab saat dalam kondisi hadats.
Untuk bab yang pertama, pada dasarnya berpangkal dari ayat " wa tsiyaabaka fatohhir".
Juga banyak dari sunnah dan atsar seperti qoul nabi :" barang siapa berwudhu agar membersihkan hidungnya, saat bersuci dengan batu agar mengambil kan nya. Juga perintah mencuci darah haidz yang ada dicelana, sahabat menyiram kencing aroby di masjid, cerita azab kubur karena kencing yang tidak disucikan, dll.
Dari kesimpulan banyak dalil diatas, akhirnya para dukun fiqh sepakat bahwa menghindari najis itu diperintahkan dalam syarak.
Nah, adapun sisi bedanya adalah memahami apakah perintah tadi berkonsekwensi wajib atau hanya sunnah saja.
Menurut abu hanifah dan Imam syafi'i : konotasi perintah itu adalah makna wajib.
Sedang satu kaum lagi memaknai itu hanya sunnah muakkad saja. Begitu juga ada pendapat lain yang mengatakan bahwa perintah itu bermakna fardzu jika kondisi ia ingat. Maka saat kondisi lupa, dimaafkan. Dua qoul terakhir ini diusung oleh Imam maliki.
Pangkal perbedaan diatas mengerucut pada tiga point.
  1. Perbedaan mereka memahami ayat " wa tsiysabaka fatohhir". Apa ayat ini seharusnya dipahami secara hakikat atau secara majas.
  2. Karena secara dzahir, banyak atsar yang berbeda bahkan bertentangan. 
  3. Perbedaan mereka dalam menerjemahkan makna perintah, apa berkonsekwensi hukum wajib, atau hanya sunnah saja. Juga alasan hukum disitu yang menjadi qorinah hukum, kemana arahnya. Hanya saja mereka banyak sepakat dari sisi " IBADAH TADI TAAQQULI ATAU TAABBUDI".
Nah, berangka dari sini, mereka yang memahami secara majaz ayat penyucian " pakaian" ini, maka itu artinya adalah akhlak, etika, tingkah laku, adat. Adapun kebanyakan yang bersifat adat, itu lebih kepada hukum sunnah saja.
Adapun yang mengatakan ayat " penyucian pakaian " ini dari sisi dhohir, maka konsekwensi hukumnya adalah wajib. Beda lagi jika ayat itu diartikan dari sisi kinayah, yaitu penyucian hati, tentu standard batasan suci lebih tidak teridentifikasi.

Disisi lain, juga didapati banyak atsar yang artinya juga saling bertentangan : semisal tentang diazabnya ahli kubur karena kencing( yang dalam hal ini dipahami punya konsekwensi hukum wajib) juga hadits dimana nabi dilempari berbagai macam kotoran tetapi beliau tidak memutus sholatnya( dipahami bahwa izalah najis itu hanya sunnah saja).
Plus hadits tentang " nabi di suruh jibril buwang sandal karena ada najisnya saat sholat. Jika hindari najis itu wajib, tentu diberi tau najisnya oleh jibril prasholat, bukan ditengah sholat.
[19/1 09.03] Grand Syeikh Indrajid: Nah, dari berbagai macam perbedaan atsar tadi, para Imam mazhab mengambil hukum asal dari salah satu dzahir hadits. Jika yg dikedepankan adalah dhahir yang berkonotasi wajib, maka membuat hukum asal wajibnya hindari najis. Begitu seterusnya hingga yang pakai metode " Jam'u".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Alfiyah "Bab Waqaf"

Kajian Alfiyah Ibn Malik "Imalah"

Kajian Alfiyah "Cara Membentuk Isim Maqshur/Mamdud menjadi Tasniyah-Jamak"