Ikhtilaf, Ta'arud dan Tarjih

*Ikhtilaf, Ta'arudh dan Tarjih*
Oleh: Danang Kuncoro W

Di antara penyebab perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah adanya penampakan ta'arudh pada dalil-dalil syar'i sehingga keadaan itu memaksa mereka untuk melakukan tarjih setelah menempuh metode-metode lain sebelumnya seperti jamak dan naskh.
Ta’arudh adalah kontradiksi, sedangkan tarjih adalah mengunggulkan salah satu dalil yang dianggap paling kuat. Ta’arudh terjadi ketika terdapat dua dalil yang sama-sama kuat, namun secara kasat mata tampak saling bertentangan satu sama lain. Ta’arudh sebenarnya tidak pernah terjadi dalam hukum Islam, karena Allah SWT tidak pernah menurunkan dua hukum yang saling bertentangan dalam waktu yang sama dan kasus yang sama. Yang terjadi sebenarnya adalah seorang mujtahid mengalami kesulitan dalam mencari hukum yang paling benar dari dua dalil tersebut, sehingga seolah-olah terjadi ta’arudh dalam syariat.
Di antara syarat menjadi seorang mujtahid adalah menguasai ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan ketika muncul ta’arudh antara satu dalil dengan yang lainnya.
Berikut ini beberapa contoh permasalahan terkait ta’arudh dan tarjih:
Masalah 1:
Jika seorang budak wanita memiliki suami bukan budak (merdeka), kemudian ia dibebaskan, apakah ia memiliki hak untuk membatalkan (fasakh) hubungan pernikahannya dengan suaminya?
Ulama Hanafiyah mengatakan ya, sedangkan ulama Syafiiyah mengatakan tidak.

Sumber perselisihan:
Dalam hadis shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa dahulu pada zaman Nabi SAW terdapat seorang budak wanita bernama Barirah. Suaminya juga seorang budak bernama Mughits. Ketika Barirah dibebaskan, ia diberi pilihan oleh Nabi SAW antara tetap bersama Mughits sebagai suaminya, atau memilih fasakh. Barirah memilih fasakh.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa ketika Barirah dibebaskan, Mughits telah merdeka, jadi budak wanita yang memiliki suami merdeka, ketika dibebaskan ia memiliki hak fasakh karena Nabi SAW memberikan hak fasakh kepada Barirah setelah dibebaskan.
Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa ketika Barirah dibebaskan, status Mughits masih sebagai budak dan belum dibebaskan. Jadi, tidak ada dalil untuk memberinya hak fasakh.

Teks hadis:

'Aisyah –semoga Allah meridhoinya, berkata: Barirah disuruh memilih antara melanjutkan hubungan pernikahan dengan suaminya atau tidak, ketika ia dibebaskan dari perbudakan. Muttafaq Alaihi (dalam hadits yang panjang).
Menurut riwayat Muslim tentang hadits Barirah: bahwa suaminya adalah seorang budak. Menurut riwayat lain: Suaminya orang merdeka. Dalam riwayat Bukhari, Al-Hakam (perawi) mengatakan bahwa Mughits sudah merdeka ketika Barirah dibebaskan, komentar Al-Aswad juga sama. Namun Ibnu Abbas –semoga Allah meridhoinya, membenarkan bahwa ia adalah seorang budak.
Dari perbedaan riwayat ini akhirnya timbullah perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kalangan Syafiiyah mengunggulkan dalil yang mengatakan bahwa Mughits masih seorang budak ketika istrinya dibebaskan. Sedangkan kalangan Hanafiyah mengunggulkan dalil yang mengatakan bahwa Mughits sudah merdeka ketika istrinya dibebaskan.
Imam Al-Bukhari mengatakan dalam Shahih-nya bahwa pendapat Al-Hakam mursal, sedangkan pendapat Al-Aswad munqathi’. Pendapat Ibnu Abbas-lah yang paling shahih.
Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa Al-Aswad belum pernah masuk Madinah sewaktu zaman Nabi SAW. Sedangkan Ibnu Abbas –semoga Allah meridhoinya, telah menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri. Jadi, riwayatnya lebih dapat diterima.

Masalah 2: Menikah Dalam Keadaan Ihram
Ketika seseorang dalam keadaan berihram, baik untuk haji maupun umrah, bolehkah ia melangsungkan akad pernikahan atau menikahkan orang lain?
Ulama Hanafiyah mengatakan boleh, Ulama Syafiiyah mengatakan tidak boleh.

Sumber perselisihan:
Perbedaan riwayat antara hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menikahi Maimunah dalam keadaan ihram atau setelah ihram.

Teks Hadis:
Dalam hadis shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW menikahi Maimunah dalam keadaan ihram. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat shahih lainnya, beliau menikahi Maimunah setelah bertahallul (dari ihram). (HR. Muslim)
Dari perbedaan riwayat tersebut muncullah perbedaan ulama. Kalangan Hanafiyah mengunggulkan riwayat pertama karena dianggap lebih shahih (muttafaq ‘alaih). Sedangkan kalangan Syafiiyah mengunggulkan riwayat kedua karena lebih banyak riwayatnya. Di samping itu terdapat hadis lain berbunyi, “Seseorang yang sedang berihram tidak boleh menikah, menikahkan orang lain atau mengkhitbah.” (HR. Muslim)
Dan masih banyak lagi contoh-contoh penampakan ta’arudh yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat (ikhtilaf) dalam menentukan hukum. Masing-masing telah mencurahkan segala usahanya dalam mencari kebenaran, dan masing-masing benar dalam usahanya dan berhak mendapatkan pahala dari Allah, meskipun kebenaran hanyalah satu. Sekuat apapun manusia berusaha mengingkari ikhtilaf, ikhtilaf itu tetaplah ada dan akan tetap terus ada, karena ikhtilaf dalam hal ini adalah rahmat, bukan bencana. Yang sebenarnya bencana adalah sikap fanatik dan tidak mau menghargai pendapat orang lain, apalagi ditambah dengan kebodohan tentang agama dan kecerobohan dalam berfatwa tanpa ilmu. Inilah musibah umat ini. Semoga kita diselamatkan dari bencana di dunia dan azab di akhirat. Amin.

Referensi:
1. At-Tawdhih Syarh At-Tanqih, Imam Shadr Asy-Syari'ah Al-Mahbubi.
2. I'lamul Anam Syarh Bulughul Maram, Syaikh Dr. Nuruddin Itr.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Alfiyah "Bab Waqaf"

Kajian Alfiyah Ibn Malik "Imalah"

Kajian Alfiyah "Cara Membentuk Isim Maqshur/Mamdud menjadi Tasniyah-Jamak"