Qissotul Iman



 MUQODDIMAH
Mengingat masa kecil dan nyanyian di masa muda, betapa indahnya. Dan betapa riangnya hati kita apabila bisa kembali kemasa itu setelah lamanya pengembaraan, untuk melihat dengan mata kepala yang di penuhi oleh uban yang mendekati kematian.
Sungguh, masa itu, sangat membekas di dada kita, aliran-aliran air kenangan yang di dalamnya ada rasa nyaman, rindu, sesal, sunyi, susah, takut, dan putus asa. Kemudian berubah menjadi nikmat dalam gemuruh kesusahan yang manis ini. Menangisi diri kita, orang yang berpisah dengan kita, dan menangisi diri kita yang hendak perpisah dengan mereka, seperti tangisan musafir yang tak pernah kembali, yang tak berkurang rasa rindunya atas perpisahan orang-orang yang di cintai, kecuali harapan bertemu dengan para kekasih lain yang menungguhnya di sebuah kota yang nun jauh di sana.
Masa-masa terahir di usia ini, kita menemukan kehidupan di depan mata kita lebih mahal dan lebih indah, lebih berarti dan lebih nikmat. Olehnya besitan kematian menjadikan kita merasa takut. Dan kita sangat merasa butuh pada kekekalan dari pada waktu yang telah terlewati. Pun butuh pada iman kepada Dzat yang kekal abadi, yang telah memberi janji bahagia dengan adanya kehidupan baru. Andai saja tidak ada itu, niscaya kehidupan dunia kita tiada guna dan artinya.
Dari masa kecilku, di kotaku, yang dekat persimpangan jalan, di taman dari taman-taman rumahku semerbak aroma harum. Saya memiliki banyak kenangan masa kecil di sana yang mengingatkanku pada fajar hari raya. Yaitu, di saat ayahku datang sebelum terbit mentari dan aku berada di belakangnya untuk menziarahi pemakaman keluarga di dekat Masjid Jami', setelah itu dia melakukan sholat Ied.
Tempat itu mengingatkanku pada indahnya musim dingin yang aku bermain di sana, di dekat pohon, di pelataran masjid, di antara telaga dan sumur. Sedang ayahku duduk di ruangannya, ada para orang tua yang sedang duduk melingkar, mebuat halaqoh, mendengarkannya. Dan tiba-tiba saya melupakannya, menjauh pergi ke sebuah taman, ku potong tangkai dan ku buat menjadi kayu yang indah.
Tempat itu mengingatkanku pada menara tempat Adzan yang memiliki tangga, yang mana aku pernah naik kesana dari pelataran Masjidnya.
Tempat itu mengingatkanku pada orang tua yang biasa mengumandangkan Adzan, yang mana aku sering meminta dia mengajakku naik bersamanya serta aku suruh ia dengan paksa untuk mengumandangkan Adzan sebelum waktunya, Ia kebingungan mencari cara menenagkanku dan berusaha merayuku hingga masuk waktu Magrib.
Masa itu mengingatkan pada ibu, yang mana aku sering berbicara dan memanggilnya melalui Speaker, sumur, dan melalui lubang bambu. Ibuku menakut-nakutiku adanya ular besar dan meminta pembantunya agar tidak membiarkanku bermain Speaker serta mendekati sumur.
Masa itu mengingatkanku pada mereka semua, orang-orang yang telah meninggal. Mereka pergi dan menyisahkan rasa sedih dalam hatiku, mendidih di kedalaman sanubari, di bawah tumpukan-tumpukan hari dan tahun. Dan di ketika aku kembali ke Thoenal, rasa itu kembali menyesaki hati dengan bara dan besi.
Hari dan tahun telah mengombang-ngambingkanku, maka ku jauhi kehidupan itu, masjid itu, dan terahir ku jauhi kotaku, semuanya ku jauhi, ku tinggalkan. Lalu, setelah lama aku menyendiri, mengembara, aku kembali lagi. Rindu telah memabawahku ke kotaku, Thoenal.
Suatu hari aku datang di saat Dhuha, tatkala Masjid sepi dari orang-orang yang sholat. Aku berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, ku susuri tempat-tempat bermainku dulu. Dan ku tenun semua kenangan-kenangan itu.
Dan saat aku tenggelam dalam diam, tiada yang aku dengar kecuali hembusan angin yang menerpa Kubah Masjid dan suara dari dalam kamar timur, yang di masa kecilku, aku takut untuk mendekatinya, takut pada kuburan yang ada di dalamnya. Kemudian ada orang tua yang tampak bersahaja, putih rambutnya, pakaiannya aneh, berlahan ia membuka pintu dan berjalan menuju arahku. Setelah ia ucapkan salam, ia duduk di sampingku dan berbicara dengan bahasa Arab Fasih.
"Apa yg menjadikanmu menangis saudaraku?".
"Kenangan-kenanganku, di masjid ini, di masa hidup ayahku, dan di masa-masa kecilku". Kataku.
"Siapa ayahmu?".
Hampir saja aku tak bisa menyebutkan nama ayahku, sampai badanku bergetar.
Kedua matanya tercermin linangan air mataku menyusuri wajahku yang basah dan berkata "Ayahmu Syaih Jisr?".
"Iya, dan siapakah anda tuanku?". Tanyaku.
"Saya orang jauh, dari mesir, dari keturunan Al Ma'i, yang sebagian dari mereka pindah ke kota Syam dan sebagian lagi ke Hijaz. Dan dari Hijaz, taqdir mengantarkan kakek ayahku ke negeri Hindia, dan menetap di sana. Namaku 'Hairon bin Adh'af Al Punjabi'".
"Apa yg membuat anda dari Hindia datang ke tempat ini?". tanyaku.
"Saya bukan dari Hindia, tapi dari Samarqond. tepatnya dari desa Khortank".
"Apa yang membuat anda datang dari negeri jauh ke negeriku. Dan apa yang menjadikanmu menetap di Masjid ini?" tanyaku.
"Saya datang ke negrimu untuk bertemu Ayahmu".
Saya keheranan melihatnya. sebab ayahku telah lama meninggal.
Dia berkata "Jangan heran, saya datang sebetulnya sedang di perjalanan menuju Hijaz. Saya menziarahi kuburan ayahmu dan menziarahi Masjid ini, masjid yang saya menjadi mencintainya sebab guruku sering bercerita tentangnya. Dia memberi tahuku bahwa ayahmu mengajar di sini. Para Jama'ah juga memberi tahu saya kamar tempat ayahmu. Saya melihat masjid ini sangat mirip dengan masjid di Khortank, Masjid yang aku habiskan hari-hari berhargaku. Olehnya saya putuskan menetap beberapa hari disini sebelum datang waktu Haji. Agar saya bisa beribadah kepada Allah di tempat lelaki yang telah menunjukkan guruku kejalan Allah".
"Siapa gurumu wahai tuan?". tanyaku.
"Dia Syaih Abu Nur Al Mauzun, Rahimahullah, termasuk ulama' Samarqond".
"Apa anda akan menghabiskan hari-hari anda dengan beribadah"?. tanyaku.
"Adapun sekarang, maka iya. akan tetapi sebelum itu, saya telah menulis buku tentang kesesatan dan Imanku, yang telah di dekte oleh guruku Al Mauzun. Dan dari cerita itu saya mengetahui Ayahmu".
"Bagaimanakah kisah kesesatan dan ke imananmu itu?". tanyaku.
"Cerita yang panjang. Dan saya akan menyebarkannya pada manusia jika Allah memberi kemudahan".
Kemudian laki-laki itu bangkit dan masuk ke sebuah kamar kuburan. Dan ia kembali membawah buku besar lalu ia letakkan di depanku dan berkata :
"Inilah keinginan guruku Al Mauzun, akan tetapi saya menyalinnya dengan baik tanpa menambahi sedikitpun".
"Ini kitab yang cukup besar" kataku
"Apakah anda memperbolehkan saya membawah kerumah untuk saya baca dalam dua malam. Dan nanti  saya akan mengembalikannya padamu?". tanyaku.
"Apa anda bisa bahasa Turki?". tanyanya.
"Iya, saya bisa dengan baik".
"Saya memberi kitab ini untukmu jika aku benar-benar yakin bahwa anda adalah anak Syaih Jisr. Setelah itu anda berhak membacanya".
"Tidak perlu saya jelaskan nasabku padamu. kecuali jika anda sudi menemaniku ke rumah. agar semua orang mengetahui anda, dan saya akan menunjukkan kitab-kitab Ayahku".
"Tidak perlu repot. Saya punya satu pertanyaan untukmu. Kitab apa yang paling berharga menurut Ayahmu?. Dan Bab apa yang paling penting?". tanyanya.
"Kitab ayah yang paling masyhur adalah Arrisalah Al Hamidiyah. Dan Bab yang paling penting di dalamnya adalah pembahasan seputar penetapan Esensi Allah serta bantahan untuk para Atheis. Akan tetapi bahasan Bab ini terkubur di antara bahasan-bahasan lain yang berhubungan dengan penetapan kenabian di awal kitab, dan sebagian Hikmah di Bab Akhir. Olehnya, terbesit dalam hatiku untuk memisahkannya sendiri dan merangkumnya kemudian aku terbitkan".
"Saya percaya bahwa anda adalah anak Jisr. Anda berhak mendapat amanah ini. Dan kitabku ini adalah hadiah dariku untukmu. Di sana ada rangkuman yang engkau sebutkan dari kitab Ayahmu dan di sana pula ada kisah kesesatan dan keimananku. Maka terimalah, terjemahkan, cetak, dan sebarkan. Saya tidak meminta apapun kecuali meminta Allah agar amalku di jadikan murni karnanya, di beri manfaat untuk orang-orang, dan untukku di ketika datang ajalku dan terputusnya Amalku".
Beberapa hari kemudian laki-laki itu melanjutkan safar ke Hijaz. Sedang aku memulai menterjemahkannya sampai beberapa tahun. Kamudian datanglah padaku tuntutan untuk pindah ke Tosykan. Dan tujuan besarku adalah saya bisa sampai ke Khortank, guna menziarahi Hairon bin Al Adh'af, menunjukkan kitab yang ku terjemahkan padanya, menziarahi makam Imam Al Bukhori r.a. Semua itu, saya akan di bantu oleh Syaih Dhiya' Al Din Baba Khon, yang merupakan sahabat tercinta Ayahku.
Dan ketika keinginan menziarahi Khortank itu menyelimutiku, beliau sudi menemaniku ke Samarqond. Di sana, saya tahu dari pelayan Masjid bahwa Hairon telah berangkat menunaikan ibadah Hajji dan melepaskan rindunya di Makkah.
Kami menziarahi Masjid Al Imam dan berhenti di depan kuburannya. Ternyata Masjid yang pernah di ceritakan Hairon sama persis seperti Masjid di kotaku, Thoenal, dalam kesendirian di antara taman. Dan ternyata makam Imam Bukhori ada di 'Iro, di taman kecil di bawah pohon yang rindang. Makam itu apa adanya tanpa di semen, tanpa penutup, dan tanpa hiasan.
Saya masuk ke kamar kecil yang Hairon dan Gurunya biasa menghabiskan waktu belajar di sana. Ternyata, kamar itu sama seperti yg ia katakan dulu, menyambung ke Kuburan Al Bukhori. Saya sholat di dalamnya, mendoakan Hairon bin Adh'af, dan meneteslah air mataku begitu deras. sampai sahabatku keheranan melihat tangisku.
Demikianlah, sampainya kitab itu padaku. Kitab yang akan saya suguhkan pada setiap pembaca, dengan niat menunaikan Amanah.
Abdullah Nadhim bin Husain Jisr.



















RIHLAH MENUJU SYAIH MAUZUN
Di saat menuntut ilmu di kampus Pesyawar, jiwaku secara alamiah tertarik pada pengetahuan ; pengetahuan akan hal gaib dan pengetahuan akan hal yg Majhul,  menganalisa asal segala sesuatu, esensi, sebab, alasan, rahasia dan hikmahnya. Kebiasaanku saat itu adalah bertanya pada guru dan pada teman-teman seputar Alam. Apa itu?. Kapan di ciptakan?. Dari mana dia diciptakan?, Siapa yg menciptakan?. Dan bagaimana cara penciptaannya?. Tidaklah masalah-masalah ini di hadapkan padaku kecuali dengan peringatan serta larangan dan tidak pula aku mendapat sebuah jawaban selain hinaan. Guru-guru berkata tentang aku "Ini ( Saya) bukanlah pencari Pengetahuan dan tidak pula pencari Agama. Tiadalah dia kecuali seorang Filfafat yg hina". Lengkap sudah hinaan padaku dari teman-teman, mereka menolak, mengucilkan aku serta berlombah-lombah mencari muka di hadapan Guru dengan mengolok-mengolok aku menggunakan sebutan yg sangat buruk, sampai sekampus menjadi sesak sebab aku.
Dan penghukuman tanpa dasar tersebut terus berlanjut, sahingga aku semakin mantap mengikuti suara jiwa bahwa "Sesungguhnya hakikat yg aku munculkan itu tidaklah di ketahui kecuali melalui Filsafat. Dan sesungguhnya Akal dengan agama tidak akan pernah bertemu". Andai tidak begitu, niscaya para guru tidak mungkin lari dari Filsafat dan tidak pula berpaling untuk berembuk  dalam setiap diskusi logika seputar rahasia Wujud bersamaku. Aku tidak lagi peduli dengan pelajaran-pelajaran agama dan lebih fokus mencari buku-buku Filsafat. Dan aku tidak menemukan buku-buku Filsafat di kotaku kecuali sangat langkah sekali. Aku membaca tanpa Faham. Dan setiap hari kebingunganku terus bertambah, diskusi, dan banyak berbicara tentang hal itu. Keadaanku terus berlanjut sampai guruku putus asa terhadapku. Mereka hawatir penyakit itu menular ke teman-teman, akhirnya mereka memutuskan mengeluarkanku dari Kampus.
Sampailah kabar (Aku di keluarkan ) bak sambaran petir kepada ayah. Kemudian beliau berusaha mengembalikanku ke jalan petunjuk dengan segala upaya dari logika dan cinta. Dan beliau menasehatiku agar aku meninggalkan Filsafat dan fokus pada Ilmu Agama. Setelah selesai baru bisa mentelaah jika aku mau dengan cara belajar filsafat yg benar. Beliau berkata di akhir pesannya :
"Ya hairon, dulu aku pernah sepertimu. Jiwaku condong ke filsafat dan di penuhi dengan keraguan serta kebimbangan. Akan tetapi guru besarku, Syaih Abu Nur Al Mauzun Assamarqond, yg merupakan pakar Fiqih dan Ahli Fiksafat, berpesan, pada saat itu, sebagaimana pesanku saat ini padamu, dia berkata padaku 'Sesungguhnya filsafat adalah lautan yg tidak seperti lautan-lautan lainnya, orang yg berpetualang di atasnya akan menemukan mara bahaya dan kesesatan di tepiannya, dan akan merasakan aman dan iman ketika tenggelam di dalam ombak dan kedalamannya'. Maka tinggalkan saja wahai Anakku bacaan yg penuh kekurangan dan tidak berkah itu. sebab sangat berbahaya bagi akal dan imanmu".
"Apakah akal dan iman di tepian yg berbeda dan saling berlawanan?" tanyaku pada ayah.
"Aku berlindung pada Allah" jawabnya.
"Jika demikian, mengapa guru-guruku mengingkari setiap diskusi logika seputar alam dan penciptaannya bersamaku?". tanyaku.
"Sesungguhnya tokoh-tokoh besar ilmu agama benar - benar telah meneylami diskusi pemikiran itu guna menjawab dan membantah orang-orang yg menebarkan bimbang dan para Atheis. Mereka juga menulis kitab-kitab besar, akan tetapi mereka tidak suka bila muridnya tenggelam dalam Filsafat. Hal itu, karena dalam benaknya, bisa mengganggu keimanan.
Aku katakan "Tapi teman-teman di sekolahan dan perkuliahan lain telah belajar Filsafat sebagai kurikulum yg harus di pelajari. Jadi apa gunanya, menjauhkan murid ilmu agama dari mempelajari Filsafat?. Mereka sangat sedikit di bandingkan para pencari dunia?. Apa yg akan mereka perbuat saat mereka berada di Majlis Irsyad dan Fatwa, bila ada satu orang yg melemparkan Syubhat, isu-isu, dari Filsafat yg dia pelajari?. Apakah pendapat anda saya harus berdiam saja, seperti keadaan yg jumud ini, yg di lakukan para ustad padaku, menolak para penanya?. Wahai Ayahku, apakah anda tidak melihat, bahwa keadaan ini bila terus menerus berlanjut, maka akan menjadikan paham Atheis semakin mudah menyebar di tengah-tengah masyarakat?".
"Benar katamu". Jawabnya. "Akan tetapi Syaih Mauzun berkata sebagaimana yg aku kabarkan padamu, bahwa orang yg membaca Filsafat itu tidak cukup hanya sedikit. Apa engkau tidak tahu sesungguhnya mungkin saja kita memperluas wawasan Filsafat di sekolahan-sekolahan, sampai semua murid menjadi faham akan filsafat?".
"Tidak, akan tetapi memperluas wawasan yg tidak mungkin serta tidak harus itu akan menjadi keharusan bagi Ahli Agama. Bahkan Wajib, agar mereka mampu malakukan sesuatu yg di maksudkan berupa menunjukkan pada jalan Al Haq dan Dakwah ke pada Allah".
Kata-kata Hairon menggoncang kepala ayahku. Lalu ia berkata "Itu benar, tapi usahanya apa?".
"Apakah Guru anda sungguh-sungguh dengan janjinya?" tanyaku.
"Dia tak pernah menghianati janjinya, akan tetapi di usia tuanya, dia condong ke dunia Zuhud,. Dia pindah dari Punjab ke tanah lahirnya, Samarkand. Dan dia sekarang ada di desa yg di sebut dengan Khortank, menghabiskan waktu bersama Allah, di masjid yg di bangun dekat makam Al Imam Bukhori r.a.".
Ayahku berkata demikian. Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menunjukkanku jalan lari dari Kampus yg ia berharap saya kembali kesana, dan memutuskan atas dirinya sendiri di usia yg semakin tua itu tidak melihat wajahku selamanya.
Sampailah aku di Samarkand setelah perjalanan panjang dengan kaki. Aku bertanya pada seseorang dimana Khortank?. Mereka tunjukkan aku tempatnya, yg tidak begitu jauh dari kota. Aku berangkat menuju ke sana dengan berjalan kaki. Dan sampailah aku menjelang terbenamnya matahari. Ada dua anak kecil yang kaget bertemu denganku yg tampak aneh seperti orang jauh. Berita tentangku sampai kependuduk. Kemudian datanglah tiga orang menyambutku dan mengajakku ke rumah besar yg aku di persilahkan di sana. Dia bertanya apa tujuanku. Dia tersenyum saat tahu maksudku dan berkata :
"Mustahil anda bisa ketemu Syaih Al Mauzun. Sebab dia telah memutuskan hubungan dengan manusia sejak lebih dari 5 tahunan ini untuk beribadah di taman dekat Masjid Al Imam. Dia tidak keluar ke masjid kecuali setelah malam mengepakkan sayapnya. Dia akan tidur di taman dekat Makam Al Imam di saat musim panas. Dan di ketika musim dingin, dia berpindah ke kamar kecil yg bersambung dengan makam. Tidak ada satu orang pun  yg berani masuk kesana. Banyak orang yg berusaha bertemu dengannya tapi tidak menemukan cara. Bahkan kami sendiri, sebagai penduduk asli, tidak pernah bertemu dengannya. Dan kami hanya bisa mengirinkan makanan kepadanya melalui pelayan Masjid. Pelayan itu akan menaru makanan itu di pagar kebun tanpa melihat dia".
Saya berkata "Semoga Allah memberi saya nikmat bertemu dengan belaiu, nikmat yg tidak ia takdirkan pada selainku. Dan saya sangat berharap kalian membantuku dengan tulus, serta berjanji biar saya saja yg mengantarkan makanannya".
"Permintaan anda adalah permintaan yg kecil, baiklah" jawab seorang lelaki.
                Di ketika esok hari datang aku bergegas mengantar makanan untuk Syaih. Dan seorang tokoh Desa menyuru satu orang untuk menunjukkan jalan menuju kebun tempat Syaih beristirahat. Dia berjalan bersamaku sampai ke masjid. Kemudian ia tunjukkan aku kebun dan tempat di mana ia biasa menaruh makanan. Saya mendekati pagar kebun, aku letakkan makanan di tempatnya. Kemudian aku gantungkan sebuah kertas kecil di pinggirnya yg bertuliskan :
"Apa?.. Siapa?... Darimana?... Bagaimana?... Di mana?... Dan kapan?... ".
Kemudian aku kembali, sampai pohon-pohon yg rindang dahan tangkainya. Aku bersembunyi di sana untuk melihat Syaih jika datang sekira ia tidak melihatku. Beberapa waktu kemudian, tampaklah dari selah-selah dahan pohon sosok orang tua yg bersahaja, tinggi posturnya, jejak punggungnya, warna kulitnya keputi-putian, arab wajahnya, mancung hidungnya, dan kurus bahunya, tanpa penutup kepala. Ia  mendekati pagar serta menghadap ke makanan.
Dan di ketika hendak mengambil makanan, matanya berhenti pada secarik kertas di pinggirnya dan ia baca tulisan di dalamnya. Setelah itu ia menoleh ke kanan dan kiri lalu berjalan terhoyong-hoyong, tiba-tiba jatuhlah beliau dalam keadaan pingsan. Aku mendekat ke arahnya dan aku lakukan sesuatu sebisa mungkin agar beliau tersadar.
Pada saat beliau tersadar, ia buka matanya, dan melihat kepadaku dengan pandangan yg cukup lama. Lalu berkata :
"Jangan takut, bantu aku bangun".
Kemudian aku bantu dia sampai ke kebun. Lalu ia duduk di pinggir air, ia membasuh wajah, dan berdiam sesaat seraya memejamkan mata. Dan setelah diam yg cukup lama aku mendengar ia berkata dengan suara yg bercampur isak tangis :
"Laa Haulaa walaa Quwwata Illa billah... " tiga kali.
Ia menoleh ke arahku dan berkata :
"Ya Bunay, engkau telah menggangguku dan telah merusak nikmat tenggelamku dalam ke hinanaan di hadapan Allah. Engkau juga mengingatkanku pada buruknya suara jiwa yg pernah menyelimutiku, berupa kebingungan dan keraguan.... Saaamahaka Allah... Saaamahaka Allah... Siapakah engkau Ya Walady?".
"Saya Hairon bin Adh'af, anak muridmu dulu dari Punjab" jawabku.
"Ahlan Bika.. Bagaimana kabar ayahmu?". Tanyanya.
"Bikhoir, baik" jawabku.
"Saya melihat engkau telah jatuh ke jurang di mana ayahmu dulu pernah jatuh di dalamnya". terangnya..
"Na'am, dan dialah yg menunjukkan aku tentang anda dan menyarankan aku pergi kepada anda, Ya Maulay".
Ia menatapku lama sekali kemudian ia arahkan wajahnya ke air dan menenggelamkan pandangannya ke dalam. Matanya basah dengan air mata, lalu berkata :
"Waaa rohmataah.... Semoga belas kasih Allah menaungimu, Wahai pemuda genarasi ini. Kalian ada di antara dua masa, masa di antara Madrasah Iman melalui jalan Naql, dan madrasah Pengetahuan melalui jalan Aql. Kalian berada pada kulit agama dan berada pada kulit Falsafat. Olehnya bersemayam di otak kalian, bahwa Agama dan Filsafat tak akan bisa berkumpul, Akal dengan Agama tidak akan pernah saling mengenal. Dan sesungguhnya Filsafat adalah jalan Ilhad, pengingkaran terhadap esensi Tuhan. Tidak seperti itu, Ya Walady, tidak.
Sebaliknya ia adalah jalan menuju keimanan kepada Allah melalui Akal yg di bangun di atasnya sebuah Iman.
Akan tetapi, Anakku, Filsafat adalah Lautan yg tidak seperti lautan-lautan lainnya. Orang yg berpetualang di atasnya akan menemukan mara bahaya dan kesesatan di tepiannya. Dan akan menemukan Aman dan Iman dalam ombak dan kedalamannya.
Ini  yg pernah aku katakan pada ayahmu sebelumnya”
Mendengarnya, ku tundukkan tubuhku dan ku coba meraih tangannya guna menciumnya. Aku adukan padanya betapa pedihnya siksa keraguan, kebimbangan, dan kegamangan. Ia tundukkan kepala ke tanah seraya menulis sesuatu dengan sebilah kayu yang ada di tangannya. Lalu berkata :
"Ya Hairon, masalah demikian ini tidak mudah seperti yg engkau sangka. Ia butuh usaha yg besar dan waktu yang panjang. Ya Walady, engkau datang padaku pada saat aku berada di dekat lubang kuburku.  Engkau tinggal di mana?".
"Aku tidak memiliki rumah di desa. Saya baru sampai kemaren. Saya menginap di salah satu rumah tokoh desa yg aku di persilahkan di sana". jawabku.
"Di desa ini tidak ada penyewaan rumah. Dan tidak baik bagimu menetap sebagai tamu pada seseorang. Bangkitlah sekarang, dan pergilah ke desa. Belihlah tikar, selimut, dan buku besar. Dan kembalilah untuk tidur di masjid.
Kita akan menjadikan malam sebagai waktu belajar. Sebab malam adalah waktu yg tenang, sepi, dan waktu luang lagi panjang. Adapun siang, maka aku tidak bisa meninggalkan ‘Uzlah-ku, kesendiriannku. Sebab bagiku tiada yg tersisah dari hidup ini, kecuali memutuskan diri bersama Allah dan ber-Zdikir padanya di antara taman dan kebun-kebun ini, mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Dan tiada yg merusak kenikmatan itu kecuali udara dingin, yg mengurungku di antara dua tembok. Sampai bertemu besok Ya Hairon.... ".
PARA PENCARI TUHAN
Hairon bin Al Adh'af berkata :
Menjelang maghrib aku datang ke Masjid dengan membawa tikar. Aku jumpai masjid dalam keadaan sepi tiada siapapun kecuali orang tua yg sedang menyalahkan lampu. Dia adalah seseorang yg menemaniku ke Masjid pagi tadi. Dan ketika matanya melintas padaku, ia berjalan ke arahku dan mengucapkan salam, lalu bertanya tentang keadaanku. Aku beritahu dia bahwa aku berniat bermalam di Masjid menghabiskan waktu dengan Ibadah di dekat Makam Al Imam Al Bukhori r.a. Ia bahagia sekali dan berkata :
"Ahlan bika, Silahkan, akan tetapi saya berharap jangan engkau larang saya dari menemani anda sebagaimana yg di lakukan Maulana Al Mauzun, dia datang sepertimu sejak 5 tahun lalu, kemudian menghabiskan waktu dengan beribadah, hingga kemudian saya tak melihatnya sama sekali. Sebab ia keluar ke kebun bersama Fajar sebelum aku datang. Dan ia tidak akan kembali ke Masjid kecuali setelah terbenamnya matahari. Dia juga tidak rela satu orang pun melihat nya".
"Anda pelayan Masjid ini?". Tanyaku.
"Na'am, aku adalah pelayan masjid ini sejak 50 tahun yang lalu" jawabnya.
"Kenapa masjid terlihat sepi dari para Jama'ah?" tanyaku.
"Dari mana para jama'ah bisa datang!! sedang masjid jauh dari Desa. Olehnya, tidak solat di sini kecuali orang yg menempuh perjalanan atau orang yg berziarah ke makam Al Imam" jawabnya.
Setelah kami melaksanakan sholat Magrib dan Isya', laki-laki tua itu menunjukkanku tempat air dan memintaku agar mematikan lampu-lampu yg berjejar jika aku tidak lagi membutuhkannya, serta menutup pintu setelah dia keluar. Lalu ia berpamitan dan pergi menuju Desa. Dan di ketika ia keluar, saya tutup pintu Masjid. Syaih Mauzun tidak mendengar suara pintu tertutup, tapi tiba-tiba ia membuka pintu kamarnya dan memanggilku. Aku datang padanya. Kemudian ia persilahkan saya :
"Udkhul, Masuklah"  katanya.
Saya masuk dan mencium tangannya. Ia sambut aku dan bertanya ke adaanku. Ia bercerita tentang Ayahku satu jam penuh. Kemudia ia bertanya :
"Hal Ahdhortad daftar?, Apa engkau membawah buku?".
"Na'am" jawabku.
"Baik, aku akan mendekte. Dan engkau harus menulis setiap perbincangan kita. Agar engkau bisa mengulangi pelajaran di saat siang. Aku sudah memilih metode belajar untukmu dengan cara Ngobrol. Metode itu lebih memudahkan faham, memahamkan, dan tanya jawab. Dan sekarang, mana pertanyaanmu?". Tanyanya.
Hairon "Pertanyaanku adalah sebagaimana yg aku tulis di kertas kecil dulu, Tuanku. Saya tidak ingin mengulanginya".
"Pertanyaanmu itu adalah pertanyaan yg menguras otak para Failosof, bahkan otak semua manusia, sejak manusia ada dan berfikir. Dan Filsafatlah yg berusaha menemukan jawabannya, adakalanya dia menemukan jawaban yg benar atas semua pertanyaan. Dan terkadang ia tidak menemukan jawaban sama sekali. Hal itu akan engkau ketahui saat engkau sampai pada puncaknya.
Ya Hairon, Filsafat itu ingin mengetahui hakikat segala sesuatu, esensi, asal, dan tujuannya. Ia tidak cukup dengan hal-hal yg tampak. Lebih dari itu, ia ingin menyingkap  hal-hal yg tidak tampak. Ia tidak cukup dengan Alam yg kasat ini. Lebih dari itu, ia ingin mengetahui sesuatu di baliknya dan sesuatu yg ada sebelumnya.
Filsafat ingin mengetahui siapa yg menciptakannya?. Dari mana ia dicipta?. Kapan diciptakan?. Dan ia ingin mengetahui, Seperti apakah penciptanya?. Esensinya bagaimana?. Dan Hakikat sifatnya?. Seperti apakah manusia?. Bagaimana esensinya?. Seperti apa Akalnya?. Bagaimana ia bisa mengetahui seseuatu?. Apa puncak pengetahuannya?. Apa itu baik?. Apa itu indah?. Mengapa baik dikatakan baik? dan indah di katakan Indah?. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yg tidak ada habisnya, karna ia ingin mengetahui dasar-dasar pertama bagi segala sesuatu. Sebab itulah dalam mendefinisikan Filsafat, mereka berkata ; Filsafat adalah berfikir tentang hakikat sesuatu. Dan ada juga yg berkata ; Ia adalah ilmu untuk mengetahui dasar-dasar pertama. Sedang yg lainnya mengatakan selain itu.
Adapun pendapat saya, maka saya mendefinisikan Filsafat untukmu, bahwa ia adalah usaha Akal untuk menemukan esensi semua dasar-dasar pertama. Dan engkau akan tahu bahwa Definisi yg kubuat ini adalah definisi yg benar"... Terang Syaih panjang lebar.
Hairon "Ya Syaih, Ilmu juga memperbincangkan hakikat segala sesuatu. Apakah Ilmu itu bukan Filsafat?".
Assyaih "Perbedaan antara Ilmu dan Filsafat adalah, Ilmu cukup dengan membahas hal-hal yg tampak dari Alam Ini, aturan, dan hukum-hukumnya. Adapun Filsafat, maka ia memperbincangkan asal muasal alam, alasan, dan hakikatnya.
Alam yg natural cukup di pelajari melalui lahiriyah tabiat yg ada pada materi tanpa perlu berpikir pada asal muasal, illah, dan esensinya.
Alam Matematik memperbincangkan arsitek dan hitung menghitung tanpa susah-susah berpikir tentang arti tempat dan masa.
Dan keduanya di teliti, di bahas, dan di perbincangkan melalui Logika tanpa berpikir ke dalam hakikat Akal dan kemampuannya mengetahui sesuatu.
Sesorang Filosof ingin memahami hakikat Materi, Asal, Illah, dan esensinya dalam satu waktu. Ia juga ingin mengetahui arti tempat dan zaman, hakikat Akal, pencapaiannya, dan kemampuannya mengetahui hakikat itu sendiri. Olehnya, ia berusaha mempelajari dan meneliti Al Ma'qula ( Yang bisa di pikirkan ) dan Al Aqla ( Alat berpikir ) dalam satu waktu sekaligus.
Dan dari pembahasan Alam dan sebabnya, terciptalah "Falsafatul Wujud". Dari pembahasan Akal, Hakikat, dan kemampuannya, terciptalah "Falsafat Al Ma'rifah". Dan Dari pembahasan esensi kebaikan, keindahan, dan keburukan, terciptalah "Filsafat Al Qiyam".
Dan yg engkau butuhkan sekarang dari pembahasan-pembahasan Filsafat tersebut adalah dua pembahasan yg awal, bukan yg lain.
Hairon "Ya Maulay, Aku belum Faham sisi urgensi filsafat ini terhadap objek pembahasan yg ini tapi tidak urgen pada pembahasan yg lain. Tolong di jelaskan?"....
Syaih " Sisi urgensinya jelas jika engkau merenungkannya. Pembahasan Wujud mencakup tabiat yg wujud, hakikat, asal, dan Illah-nya, dalam hal ini adalah Makhluk dan Kholiq. Sedang pembahasan Al Ma'rifah ( sains ) mencakup pendapat-pendapat tokoh filsafat tentang cara mendapatkan pengetahuan, wasilah, dan pencapaiannya. Dan pertanyaan yg menghantui jiwamu serta menjatuhkanmu dalam jurang kebimbangan dan keraguan tercukupkan pada dua pembahasan itu. Ia tidak memiliki hubungan besar dengan Falsafat Al Qiya,  yg membicarakan hakikat keindahan, baik, buruk dan lain sebagainnya",
"Benarkah, yg menghantuiku hanya berputar pada dua pembahasan tadi !!, tidak pada yg lainnya?. Lantas apa hal yg mendorong pembahasan Al Ma'rifah menjadi panjang lebar?". Hairon.
Asyyaih "Masalah Metafisika yg menyibukkan jiwamu, tidak mungkin di pelajari kecuali melalui Falsafat Al Ma'rifah. Sebab mempelajari pendapat yg berbeda dalam menafsirkan Metafisika tidak bisa sempurna dan tidak akan pernah sampai tujuan kecuali setelah mempelajari jalan Ma'rifah itu sendiri, perangkat, dan berpikir pada kebenaran wasail  (Media) serta kemampuannya yg mampu mendatangkan keyakinan dari sebuah esensi yg kita bahas".
Hairon "Jadi, Falsafat Al Ma'rifah adalah pembantu bagi Falsafat Al Wujud dan menjadi perantara bagi mengetahui sebuah esensi dalam masalah Metafisika?".
"Begitulah faktanya" kata Syaih.
"Jadi, esensi Filsafat adalah masalah Metafisika?". Tanya Hairon.
"Begitulah faktanya. Filsafat ada dan akan selalu ada, hakikatnya adalah gambaran tentang pencarian Allah" kata Syaih tegas.
Kemudian Syaih mengeluarkan buku besar dari bawah bantalnya. Dan berkata :
"Ayo, mari kita mulai".
"Kitab apa itu tuan" tanya Hairon.
"Kitab ini membicarakan para Pencari Tuhan". jawab Syaih.
"Apa namanya?" hairon.
"Falsafatul Yunan" jawab Syaih.
"Bagaimana bisa anda katakan mereka adalah para pencari Tuhan, tuan?". tanya Hairon, penasaran.
"Tentu, itu kitab bagi para pemikir tentang Tuhan Al Haq. Apa engkau lupa kalau saya telah katakan Filsafat adalah gambaran dari pencarian Tuhan", jawab Syaih.
"Sungguh saya telah membaca sebagian pendapat tokoh-tokoh filsafat Yunani. Dan saya menemukan bahwa mereka semua adalah Kaafirun". kata Hairon.
"Benar, mereka semua adalah kaafir, tapi kafir sebab mengingkari tuhan sesembahan penduduk Yunani. Adapun Tuhan Al Haq, maka mereka dalam pencarian tentangnya. Di antara mereka ada yg mendapatkan Hidayah. Di antara mereka ada yg akalnya tidak mampu menggambarkannya. Dan di antara mereka ada yg ketidak mampuannya mengantarkan pada jurang kesesatan.
Engkau akan melihat bahwa isi dari pendapat mereka yg tulus dalam pencarian itu terlipat pada perenungan terhadap Alam semesta dalam keadaan kebingungan menyusuri gelapnya ketidak jelasan, kesamaran, perlawanan jiwa dan akal, keraguan, dan Safsathoh.
Thales, ia memulai dengan tali simpul kedustaan yang melekat pada setiap akal para Filsof, bahkan semua manusia. Ia melihat dan berpendapat bahwa Alam tidak mungkin berupa Makhluk yang berasal dari ketiadaan. Dan sesungguhnya setiap yang bermula, hakikatnya tiada lagi kecuali perubahan. Olehnya pasti ada materi pertama yang wujud sebelum ada masa ( Azali ), yang darinya lahir segala yang wujud. Dan materi tersebut adalah air.
Hal yang menjadikan ia memilih air adalah karna ia meneliti setiap hal yang wujud dari materi yang menerima perubahan dan pembentukan. Dari situ, ia melihat air sebagai benda cair yang bisa berubah-ubah, menjadi Salju yang padat, menjadi uap yang lembut, kemudian kembali menjadi air. Ia juga melihat dan berpendapat bahwa basah adalah syarat ( Keniscyaan ) dalam kehidupan. Akhirnya, ia meyakini bahwa air, yang memiliki kekhususan tersebut, sebagai asal bagi setiap hal yang wujud.
Akan tetapi Aneximenes berpendapat bahwa sesungguhnya udara lebih banyak fleksibelitasnya dan lebih berpotensi menerima perubahan di banding air. Karna saat dingin, ia akan menjadi air. Dan saat panas, ia menjadi uap. Kemudian kembali menjadi air. Dia juga mengira apabila  campuran panas dan dingin itu bertambah, maka udara akan menjadi Api, terbentuklah matahari dan bulan. Dan jika memadat, maka la akan menjadi awan, kemudian air. Dan apabilah kepadatannya bertambah, maka ia akan berubah menjadi debu dan batu. Ia juga melihat bahwa udara adalah hal yang sangat di butuhkan oleh hidup. Olehnya ia menganggap, udaralah asal muasal dari segala yang wujud.
Adapun Anexemandro, yang mana pemikiran-pemikirannya di bangun di atas perenungan mendalam, meski fakta buah pemikirannya tiada artinya, ia berkata ; sesungguhnya pendapat tentang air dan udara sebagai asal muasal adalah tidak sesuai dengan segala sifat sesuatu. Air memiliki sifat yang berbeda dengan yang lain. Udara memiliki sifat, dan segala yang wujud memiliki sifat lain. Olehnya, tidak masuk akal, segala sesuatu yang saling berbeda sifatnya lahir dari satu asal yang sifatnya husus untuk dirinya sendiri. Dari situ, akal sehat terpaksa harus mempercayai pada pendapat bahwa asal segalanya adalah Materi yg tak berbentuk, tiada habis, dan tiada batas".
Hairon "Uh keren, Anexsemandro meneliti sesuatu yang pantas menjadi asal muasal bagi segala sesuatu yang berbeda-beda. Dan dia membedakan semuanya dengan bentuk, definisi, tulisan, dan gambaran yang menunjukkan logika yang sangat dalam. Akan tetapi apa maksud dia dengan (Materi) yang ia katakan, “Materi yg tiada bentuk, tiada habis, dan tiada batas”, apa maksud dia?".
Syaih "Dari situ engkau tahu kebenaran yang saya katakan padamu. Mereka, Para Filosof pertama, memiliki alasan dalam kekafirannya terhadap sesembahan penduduk yunani serta kesungguhan pencarian menggunakan Akal bebas tentang asal muasal Alam, yang mana menurut selain mereka, Tuhan memiliki sifat-sifat kemanusiaan, moralitas, dan sifat-sifat tercelahnya. Sebab mereka        ( para Filsof ) tidak membenarkan adanya Alam hasil dari ciptaan tuhan yang sakit perut, pemabuk, pendusta, penghianat, dan pezina. Olehnya tanpa di sadari,  sebetulnya mereka sedang berusaha mencari Tuhan Al Haq, yang tiada sesuatu yang menyerupainya.
Setelah itu datang Pitaghorast, dia sama sekali tidak tertarik dengan pendapat-pendapat diatas, di awal pendapatnya dalam menafsirkan lahirnya Alam ia berpendapat bahwa itu terjadi secara Alami atau natural, lalu beralih ke rana matematik dalam mentafsirkannya. Ia bersama pengikutnya berkata ; sesungguhnya air, udara, dan semua materi, apapun itu, tidak pantas menjadi asal bagi Alam yang terbentuk dari sesuatu yang berbeda-beda, baik itu materi atau non materi. Olehnya kita harus mencari sesuatu yang memiliki sifat universal yang bisa meng-cover semuanya, baik dari materi atau non materi. Dan tiada sifat universal yg bisa mencakup Alam, yang mengandung materi dan non materi itu, kecuali sifat bilangan ( Le Nombre ).
Kita mampu menggambarkan segala sesuatu dengan tanpa warna, rasa, aroma, dan bentuk. Akan tetapi kita tidak mampu menggambarkan sesuatu yang tidak menerima untuk di hitung ( ‘Add ). Jadi Nombre lah satu-satunya sifat yang bisa mengumpulkan segala sesuatu di Alam semesta. Dan hanya dia yang pantas menjadi asal muasalnya.
Pada saat sesuatu di dalam Alam ini merupakan gambaran dari bilangan yg berulang-ulang, dan penghitungan ( Al I’dad ) adalah gambaran dari pengulangan Nombre pertama, maka bilangan Satulah menjadi asal Alam semesta, Illah, dan esensinya.
Kemandirian pendapat-pendapat ini, meski tenggelam dan terlena dalam khayalan semata, tapi semuanya menunjukkan akan usaha manusia untuk bisa sampai pada pemikiran Tuhan Al Haq yg tiada campuran dari sifat - sifat materi, baik mereka sadari ataupun tidak".
Hairon "Apakah para Filsof Yunan pertama memiliki pemikiran eksistensi tuhan selain tuhan-tuhan mereka, penduduk Yunani?".
Syaih "Bumi, sejak manusia menjadi manusia, dengan keistimewaan akalnya,  ia tidak pernah lepas dari pemikiran akan Eksistensi tuhan Al Haq.
Dia, Eksnopanes, salah satu Filsof Yunani pertama, yang mengungguli para pemikir di masanya, ia melempar kisah-kisah dusta masyarakat Yunani yang mengatakan ; Jasad kemanusiaan di miliki Tuhan ( Antrhopomorpbisne ). Dan ia juga menghinakan tuhan-tuhan mereka yang makan, minum, beranak, dan mati seraya berkata ; [ Manusia membuat tuhan mereka sendiri dan memahatnya mirip dengan bentuk dirinya. Andai saja sapi, singa, dan kuda mengerti cara menggambar dan memahat, niscaya mereka akan mebuatkan pahatan tuhan yang mirip dengan mereka untuk kita.
Duh aneh sekali.
Sesungguhnya, tiada di temukan tuhan selain satu tuhan. Dialah yang paling tinggi atas benda-benda yang wujud. Ia tidak tersusun seperti bentuk kita. Dan dia juga tidak berfikir seperti berpikirnya kita. Karna dia adalah penglihatan semua, pendengaran semua, dan Fikr semua ].
Adapun untuk mengetahui esensi satu tuhan agung ini, maka Eksonopanes berpendapat tentang kemustahilannya dapat di capai oleh Akal kita. Dalam hal itu ia berkata, yang dengan perkataannya tersebut, dalam dunia Fisika, ia telah meloncat 2000 tahun ke masa Al Imam [ Ibn Sina ] ; Manusia tidak akan mampu mengetahui Allah dengan sejelas-jelasnya. Bahkan andai saja manusia kebetulan dalam menyifati Allah dengan berkata 'Al Haq adalah segala Al Haq, maka sebetulnya ia tidak tahu bahwa yang di katakannya adalah Al Haq".
Hairon "Saya faham Ya Maulay, bahwa Eksenopanes dengan kalimatnya telah meloncat 2000 tahun ke masa Al Imam. Itu berarti Filsafat telah berhenti dihadapan keyakinan akan Wujud Allah. Jika demikian adanya, maka saya berharap tuan bersedia membebaskan saya dan jiwa ini dari kebodohan Filsof-Filsof dulu, yang telah aku baca sebelumnya di Kampus Pesyawar, dan langsung berpindah ke Filsafat masa kini saja !!".
Syaih "Saya telah berpesan padamu sebelumnya untuk bersabar. Dan saya sekarang mengulangi pesan itu lagi. Tiada gunanya saya membawahmu berpindah,  satu loncatan, ke kesimpulan filsafat yang sedang menghantui jiwamu tanpa mengetahui apa yang di katakan oleh Filsof-Filsof terdahulu dan pertengahan. Karna bisa saja pendapat para Filsuf sesudahnya tidak menarik buatmu lalu datang padamu seseorang dengan membawah keraguan baru bahwa kebenaran yang sejati ada pada Filsof terdahulu. Akhirnya keraguan dan kebimbangan kembali lagi menghujam dan mencekikmu.
Ya Hairon, perbincangan Filsuf masa kini tidak bisa sempurna kecuali setelah mengetahui orang-orang sebelumnya. Maka engkau harus bersabar, faham?".
Hairon "Ya Maulay, Saya sudah menemukan hikmah hubungan antara rantai-rantai berfikir. Saya berharap, anda tidak menghukumku".
Syaih "Setelah itu datang Barminedes, yangg berpendapat bahwa air, udara, dan bilangan atau yang lainnya tiadalah pantas menjadi asal bagi sesuatu. Sebab semua itu berubah-ubah. Dan kita tidak mengetahui tentang mereka kecuali melalui sifat lahirnya, Semua sifat tadi akan berubah dan musnah kecuali satu sifat, Yaitu Al Wujud ( I etre ). Karenanya Al Wujud yang kekal inilah yang berhak dan pantas kita jadikan sebagai Asal bagi Alam semesta".
Hairon "Apa Al Wujud itu dan apa yang ia maksudkan dengannya?".

High Konsep = Jinsul Ajnas
Jenis = Genus
Jauhar = Esensi
Aradh = Aksiden
Idhofah = Relation
Aina = Place
Zaman / mata = Time
Wadho’ = Position
Milik = Habitus
Fiil = Aktivity
Infi’al = Fassivity

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Alfiyah "Bab Waqaf"

Kajian Alfiyah Ibn Malik "Imalah"

Kajian Alfiyah "Cara Membentuk Isim Maqshur/Mamdud menjadi Tasniyah-Jamak"